Archive

Seo Services

Tongkat mbah kholil bangkalan yg di berika ke mbah hasyim untuk mendirikan NU


 Di Bangkalan, pada suatu malam yang pekat, langit menunduk rendah seakan ikut bersujud. Mbah Kholil duduk bersila, tenggelam dalam khalwatnya. Langgar tua itu sunyi, hanya dzikir yang berputar seperti pusaran angin di dadanya.

Tiba-tiba, cahaya turun, halus tapi menusuk kalbu. Sebuah bisikan datang tanpa suara:
“Akan lahir sebuah jamaah. Sebuah taman cahaya, tempat umat bersatu. Kau ditugasi menyemai benih itu.”

Mbah Kholil terdiam. Tangannya meraba tongkat kayu sederhana yang selalu menemani. Tongkat itu bergetar halus, lalu bicara:

“Aku bukan kayu mati. Aku pernah berjalan bersama Musa ketika laut terbelah. Aku pernah menopang seorang pengembara haus yang mencari Zamzam. Kini, wahai kekasih Allah, tugasku menanti seorang pewaris. Bukan untuk kemuliaan pribadi, tapi untuk jamaah yang akan berdiri.”

Air mata menetes dari mata Mbah Kholil. Ia tahu, tongkat ini bukan sembarang kayu. Ia adalah amanat.

🌙
Kayu sederhana, rahasia agung,
yang terlihat mati,
namun sejatinya hidup dalam nur Ilahi.
🌙

Namun, Mbah Kholil tidak langsung menyerahkan tongkat itu. Beliau tahu, amanat besar tidak boleh diberikan tanpa perantara yang tepat. Dalam doa malamnya ia bermunajat:

“Ya Allah, jangan biarkan aku salah menyerahkan. Tunjukkan siapa yang layak membawa tongkat ini ke pewaris sejati.”

Jawaban datang dalam isyarat: “Titipkanlah pada anak Situbondo. Ia akan menjadi jembatan.”

Maka pada suatu hari, Mbah Kholil memanggil seorang kiai muda dari Situbondo: KH. As’ad Syamsul Arifin, putra KH. Syamsul Arifin dari Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.

Dengan tatapan penuh rahasia, Mbah Kholil menyerahkan tongkat itu.

“Wahai As’ad, bawalah ini. Jangan tanyakan banyak hal. Kau hanya perantara. Tapi ketahuilah, tongkat ini adalah doa yang membatu, amanat yang berwujud. Bawalah ke Tebuireng, temui Hasyim. Katakan padanya, waktunya sudah tiba.”

KH. As’ad menerima tongkat itu dengan penuh takzim. Ia tidak banyak bicara. Hanya hatinya bergetar, seakan ikut menyadari beratnya amanat.

🌌
Ada yang dititipkan,
ada yang harus diteruskan,
perantara hanyalah jembatan,
yang sejati adalah amanat.
🌌

Perjalanan dari Situbondo menuju Jombang bukan sekadar lintasan tanah, tapi lintasan ruhani. Dalam setiap langkah, KH. As’ad merasakan tongkat itu berdesis lirih.

“Aku menunggu penerus sejati. Kau hanya jembatan. Tapi tanpa jembatan, tak ada pertemuan. Jangan takut, wahai anak Situbondo. Amanat ini bukan milikmu, tapi melalui tanganmu ia akan sampai.”

Dan benar, sampailah ia di Tebuireng.

Di sana, KH. As’ad bertemu KH. Hasyim Asy’ari. Pertemuan itu sederhana: dua ulama muda bersua, membawa satu rahasia besar.

As’ad menyerahkan tongkat itu. Dengan suara pelan ia berkata:

“Gus, tongkat ini dari Mbah Kholil. Beliau titip padaku, agar aku serahkan padamu. Beliau tidak memberi pesan panjang, hanya isyarat bahwa waktumu telah tiba.”

KH. Hasyim menerima tongkat itu dengan kedua tangan bergetar. Saat kayu berpindah, udara di ruangan berubah. Cahaya samar bergetar di dinding, seakan pintu gaib terbuka.

Hasyim menunduk, mencium tongkat itu. Ia tidak melihat kayu, tapi nur. Ia tidak mendengar suara As’ad, tapi bisikan para wali: “Bangunlah, satukan umat. Jamaah ini harus lahir.”

🌊
Laut luas tanpa dayung,
perahu tanpa layar,
tongkat kini menjadi arah,
mengarahkan umat ke dermaga.
🌊

Sejak itu, tongkat itu menjadi tanda. Dalam sepi malam, Hasyim mendengar desisan halus darinya:

“Aku bukan milikmu. Aku milik jamaah. Tugasmu bukan sekadar menggenggam, tapi menyatukan manusia di bawah cahaya.”

Hari-hari berjalan. KH. Hasyim memanggil para ulama, para santri, para pejuang iman. Mereka duduk dalam lingkaran, menyatukan niat. Dari situlah lahir jamaah: Nahdlatul Ulama.

Jamaah ini bukan sekadar organisasi. Ia adalah taman yang tumbuh dari doa para wali, disirami air mata perjuangan, dan dinaungi cahaya langit.

🌺
Taman tumbuh dari doa,
bunga berwarna-warni,
tapi disirami cahaya yang sama,
dan berakar pada iman.
🌺

Di Bangkalan, meski jasad Mbah Kholil telah berpulang, ruhnya tersenyum. Ia tahu amanat sudah sampai. Tongkat itu telah berpindah, bukan hanya kayu, tapi rahasia.

Di Situbondo, KH. As’ad bersujud syukur. Ia hanyalah jembatan, tapi betapa mulianya menjadi penghubung amanat langit.

Di Jombang, KH. Hasyim menegakkan langkahnya. Jamaah lahir, bagaikan taman cahaya yang menaungi umat, menumbuhkan kebersamaan, dan menjaga agama di tengah badai zaman.

Apakah tongkat itu masih ada?
Ataukah ia telah lenyap, menyatu dengan cahaya jamaah?
Tak seorang pun tahu.

Yang jelas, hingga kini umat masih merasakan bisikannya:
“Berpeganglah pada tali Allah. Jangan tercerai. Bersatulah dalam cahaya-Nya.”

Dan taman itu masih tumbuh, terus disirami doa-doa panjang malam, meski zaman berganti, meski ujian datang.

Momen bersam cucu mbah hasyim untuk belajar perjuangan mbah hasyim di sektor.pertanian

Tidak ada komentar:

ads 728x90 B
Diberdayakan oleh Blogger.