Archive

Seo Services

"Benih Harapan yang Ditabur di Ruang Tamu"

September 23, 2025
Di ruang tamu kantor sekolah yang sederhana namun sarat makna, tiga lelaki duduk berhadap-hadapan. Suasana siang yang jernih menetes lewat jendela, seakan ikut mendengar percakapan mereka. Kursi kayu, meja kecil dengan setumpuk kertas, dan lemari kaca penuh piala menjadi saksi betapa sekolah ini telah lama berdiri sebagai rumah bagi ilmu dan prestasi.

Namun, hari itu bukan sekadar tentang piala-piala emas yang berjajar rapi. Hari itu adalah tentang percakapan yang lebih luas: tentang tanah yang mesti dirawat, tentang pangan yang harus dijaga, tentang kesehatan yang tidak boleh dilupakan. Lelaki berbaju biru gelap yaitu Syamsul Ma'arif Ketua LPPNU Kabupaten Pasuruan datang membawa kabar dan gagasan. Ia berbicara tentang ladang dan kebun, tentang benih yang perlu ditanam, tentang pupuk organik dan probiotik yang bisa menjadi jawaban atas banyak persoalan.

Para guru yang mendampingi mendengar dengan penuh perhatian. Mereka tahu, bahwa pendidikan tidak berhenti di ruang kelas. Anak-anak tidak hanya diajari berhitung dan membaca, tetapi juga harus dibimbing agar mampu menjaga bumi, menanam dan memanen, serta belajar bagaimana hidup sehat di tengah dunia yang terus berubah.

Percakapan mengalir pelan tapi dalam. Tentang ketahanan pangan, tentang santri dan siswa yang kelak harus berani menghadapi tantangan kehidupan, tentang masa depan yang lebih mandiri dan sehat. Sesekali tawa ringan pecah, menandai keakraban yang tumbuh di antara mereka.

Di balik obrolan itu, ada harapan besar. Bahwa pendidikan bisa menjadi jembatan antara ilmu dan kehidupan nyata. Bahwa kerja sama bukan sekadar tanda tangan di atas kertas, melainkan pertemuan hati dan niat untuk membangun. Bahwa ruang tamu sekolah ini, dengan segala kesederhanaannya, menjadi titik mula dari sebuah cita-cita yang lebih luas: menjaga kehidupan agar tetap tumbuh, sehat, dan bermartabat.

“Ketika Label Menjadi Doa yang Bisa Dibaca Dunia”

September 11, 2025

Foto Bersama Peserta LPPNU Kabupaten Pasuruan dan Narasumber UNIBRAW

Prolog: Ruang yang Dihuni Cahaya

Di sebuah ruang sederhana, cahaya matahari jatuh menembus jendela, menari di lantai keramik yang bersih, dan menyentuh wajah-wajah yang hadir dengan senyum penuh harap. Tikar putih terbentang, menjadi alas persaudaraan. Di atasnya, tersaji secangkir teh, kue sederhana, dan buah tangan kehidupan sehari-hari. Tidak ada kemewahan, namun ada limpahan makna yang lebih dalam daripada hiasan emas atau karpet Semu putih Hijau.

Hari itu, manusia-manusia dari berbagai sudut Pasuruan berkumpul. Mereka bukan sekadar hadir untuk duduk diam, melainkan untuk belajar, merajut pengetahuan baru tentang dunia yang selama ini sering tak terlihat: dunia kemasan. Dunia yang bagi sebagian orang hanya kulit, tapi sesungguhnya adalah wajah, bahasa, dan jendela pertama sebuah produk.

Maka berdirilah sebuah spanduk hitam di belakang mereka, bertuliskan dengan tegas: “Pelatihan Kemasan dan Packaging Produk Makanan dan Minuman UMKM Pasuruan – Program Pengabdian Terpadu DIPA Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.” Kalimat itu menjadi pengingat, bahwa di balik ruang sederhana ini, ada gerak sejarah kecil yang akan menyatu dengan arus besar zaman.


Jejak Wajah dan Latar UMKM Pasuruan

Pasuruan adalah tanah yang berdenyut dengan kerja keras. Di gang-gang sempitnya, di pasar-pasarnya yang riuh, di dapur-dapur rumah sederhana, lahirlah ribuan produk: Minuman Probiotik , Beraneka Beras Sehat, kopi, dan ratusan rupa lain. Semua lahir dari tangan-tangan kecil yang tidak pernah berhenti menggenggam doa.

Namun, sering kali, nasib produk itu seperti anak kecil yang pandai, tapi tidak punya baju layak untuk pergi ke sekolah. Rasanya enak, mutunya terjaga, tetapi ia kehilangan sesuatu yang membuat dunia mau menoleh: kemasan.

Kemasan bukan sekadar plastik pembungkus, bukan sekadar kardus atau botol. Ia adalah perantara antara manusia dan ciptaan. Ia adalah bahasa pertama yang dibaca mata sebelum lidah mencicipi rasa. Kemasan yang baik mampu mengangkat martabat produk, menjadikannya bukan sekadar barang pasar, melainkan simbol kebanggaan daerah.

Di sinilah para pelaku UMKM Pasuruan menemukan dirinya. Mereka berkumpul bukan hanya untuk belajar cara membungkus, melainkan untuk memahami bahwa identitas produk mereka adalah identitas mereka sendiri. Sebagaimana wajah manusia yang tak bisa dipisahkan dari namanya, begitu pula produk yang tak bisa dilepaskan dari kemasannya.


Makna Kemasan: Kulit, Identitas, dan Kehidupan

Kemasan adalah kulit, tapi juga jiwa. Ia melindungi isi dari debu, udara, dan kerusakan. Namun lebih dari itu, ia menyampaikan pesan: siapa kita, dari mana kita, dan apa yang kita bawa untuk dunia.

Para peserta pelatihan hari itu mendengarkan dengan seksama, ketika narasumber menjelaskan bahwa desain bukan hanya soal warna cerah atau huruf tebal. Desain adalah cerita. Satu garis bisa berarti ketegasan. Satu lengkung bisa berarti kelembutan. Satu kombinasi warna bisa menyalakan ingatan tentang sawah ladang Padi yang luas, atau tentang aroma kopi yang bangkit di subuh hari.

Mereka belajar bahwa label bukan hanya penanda harga, melainkan juga pernyataan: “Aku lahir dari tanah Pasuruan. Aku adalah bagian dari hidupmu.”

Kemasan menjadi pintu masuk ke pasar modern, ke rak-rak minimarket, bahkan ke etalase digital. Tanpa kemasan, produk sering tak terlihat. Dengan kemasan, produk berbicara. Dan dengan kemasan yang baik, produk berteriak: “Aku ada, aku pantas diperhitungkan.”


Kebersamaan di Atas Tikar Putih

Namun yang paling menggetarkan dari peristiwa itu bukan sekadar materi pelatihan, melainkan kebersamaan. Di atas tikar putih, semua duduk tanpa sekat. Mereka yang muda dan tua, mereka yang mengenakan batik dan kaos, mereka yang datang dengan langkah ragu dan yang datang dengan keyakinan penuh, semua dipersatukan oleh satu ruang dan satu tujuan.

Di sela-sela pembicaraan, terdengar tawa kecil. Ada yang mengangguk-angguk, ada yang mencatat, ada yang berbisik kepada tetangga sebelahnya untuk memastikan ia tidak salah paham. Di depan, para narasumber berbicara dengan sabar, seolah mengerti bahwa pengetahuan baru ini bukan sekadar informasi, tapi jembatan menuju harapan yang lebih besar.

Seperti doa yang dibaca bersama, pelatihan ini menjadi lantunan kolektif. Setiap orang membawa cerita masing-masing—tentang usaha kecil di rumah, tentang modal yang terbatas, tentang pelanggan setia yang menunggu setiap minggu. Tetapi hari itu, cerita-cerita itu bersatu, membentuk sebuah kisah besar: kisah UMKM Pasuruan yang sedang belajar memperindah wajahnya.


Suara yang Tumbuh dari Pasuruan

Di balik wajah-wajah penuh semangat itu, ada suara yang lebih dalam, meski tak diucapkan. Suara itu berkata: “Kami ingin hidup lebih baik. Kami ingin anak-anak kami punya masa depan. Kami ingin produk kami dikenal lebih luas. Kami ingin menjadi bagian dari dunia yang lebih besar, tanpa kehilangan akar kami.”

Pasuruan bukan kota asing bagi perjuangan. Ia pernah menyaksikan arus perdagangan, kolonialisme, dan pertarungan identitas. Kini ia menyaksikan pertarungan baru: pertarungan antara keterbatasan dan inovasi.

Di sinilah pelatihan kemasan hadir bukan hanya sebagai transfer ilmu, melainkan sebagai pengingat bahwa perubahan dimulai dari hal-hal kecil. Sebuah label yang lebih rapi. Sebuah botol yang lebih kokoh. Sebuah logo yang lebih jelas. Dari perubahan kecil itu, lahirlah perubahan besar.

Dan suara itu, suara kolektif dari para pelaku UMKM Pasuruan, semakin lantang. Ia tumbuh bersama kemasan, bersama pengetahuan, bersama kebersamaan. Ia tidak lagi sekadar suara yang berbisik di dapur rumah, melainkan suara yang bisa menggema ke pasar-pasar luas.


Antara Tradisi, Spiritualitas, dan Inovasi

Pelatihan ini juga menyentuh sisi lain yang jarang dibicarakan: bahwa setiap produk adalah hasil dari tradisi dan spiritualitas.

Ketika seorang ibu membuat kue tradisional, ia tidak hanya mencampur tepung, gula, dan minyak. Ia mencampur doa, kesabaran, dan cinta. Ketika seorang petani mengolah kopi, ia tidak hanya memetik biji dari pohon, melainkan juga merawat ingatan tentang tanah leluhur yang memberinya kehidupan.

Tradisi ini adalah fondasi. Tanpa tradisi, inovasi hanyalah ombak tanpa lautan. Tetapi tanpa inovasi, tradisi bisa terjebak menjadi kenangan yang membeku.

Di sinilah pelatihan kemasan hadir untuk menyalakan jembatan. Ia berkata kepada para pelaku UMKM: “Peganglah tradisi, tetapi jangan takut berinovasi. Biarkan kemasan menjadi bahasa baru yang menyampaikan cerita lamamu dengan cara yang bisa dipahami dunia modern.”

Maka, spiritualitas sederhana tampak di ruang itu. Ada yang berdoa diam-diam sebelum mencatat. Ada yang menyebut nama Tuhan ketika berbicara tentang harapan. Ada yang tersenyum dengan keyakinan bahwa apa yang mereka pelajari hari ini akan menjadi bekal amal di masa depan.

Inilah titik di mana inovasi tidak bertentangan dengan iman. Inovasi justru menjadi cara untuk menjaga amanah: amanah atas hasil bumi, amanah atas rezeki, amanah atas keturunan.


Epilog: Jalan Panjang dari Ruang Sederhana

Hari itu berakhir sebagaimana setiap hari berakhir: matahari bergeser, bayangan berubah, dan langkah-langkah pulang terdengar pelan. Namun ada sesuatu yang tertinggal di ruang itu, sesuatu yang tidak bisa disapu atau dihapus: jejak harapan.

Pelatihan kemasan bukanlah akhir, melainkan awal dari jalan panjang. Jalan yang akan membawa para pelaku UMKM Pasuruan untuk berdiri lebih tegak, berjalan lebih jauh, dan berbicara lebih lantang.

Mungkin besok atau lusa, di sebuah toko, seseorang akan mengambil sebungkus keripik dengan kemasan baru. Mungkin di sebuah platform daring, seorang pembeli dari kota lain akan tertarik karena desain label yang menarik. Mungkin anak-anak dari para pelaku UMKM ini akan bangga berkata, “Itu produk bapakku, itu karya ibuku, lihat betapa indah kemasannya.”

Dan di balik semua itu, ruang sederhana yang pernah dipenuhi cahaya akan tetap dikenang. Sebuah ruang di mana orang-orang berkumpul, belajar, dan percaya bahwa perubahan besar bisa lahir dari lantai yang bersahaja, dari tikar putih, dari secangkir teh, dari kebersamaan, dan dari pengetahuan baru yang dibawa dengan tulus.

Seperti biji kecil yang ditanam di tanah Pasuruan, pelatihan ini akan tumbuh menjadi pohon yang memberi teduh. Akarnya menghujam ke tradisi, batangnya menjulang ke langit inovasi, dan buahnya menjadi rezeki bagi banyak generasi.

Penutup Resmi

Atas terselenggaranya Pelatihan Kemasan dan Packaging Produk Makanan dan Minuman UMKM Pasuruan – Program Pengabdian Terpadu DIPA Fakultas Teknik Universitas Brawijaya ini, kami dari Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Kabupaten Pasuruan menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya.

Kegiatan yang berlangsung di Bascamp Desa Gayam, Kecamatan Gondangwetan ini bukan hanya menjadi ruang belajar, tetapi juga menjadi simpul kebersamaan yang menguatkan ikhtiar UMKM Pasuruan untuk tumbuh dan berkembang. Semoga ilmu yang diperoleh tidak berhenti pada ruang ini saja, melainkan terus menjalar ke rumah-rumah produksi, ke pasar-pasar, hingga ke ranah digital yang lebih luas.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Universitas Brawijaya, khususnya Fakultas Teknik, yang telah menghadirkan program pengabdian ini dengan penuh dedikasi. Terima kasih juga kepada para peserta, para pelaku UMKM Pasuruan, yang dengan semangat menghadiri pelatihan ini, membawa harapan, dan menanamkan keyakinan bahwa setiap usaha kecil memiliki masa depan besar.

Semoga kerja sama ini menjadi ladang keberkahan, penguat ekonomi umat, serta jalan panjang menuju kemandirian dan martabat masyarakat Pasuruan.

Tongkat mbah kholil bangkalan yg di berika ke mbah hasyim untuk mendirikan NU

Agustus 31, 2025


 Di Bangkalan, pada suatu malam yang pekat, langit menunduk rendah seakan ikut bersujud. Mbah Kholil duduk bersila, tenggelam dalam khalwatnya. Langgar tua itu sunyi, hanya dzikir yang berputar seperti pusaran angin di dadanya.

Tiba-tiba, cahaya turun, halus tapi menusuk kalbu. Sebuah bisikan datang tanpa suara:
“Akan lahir sebuah jamaah. Sebuah taman cahaya, tempat umat bersatu. Kau ditugasi menyemai benih itu.”

Mbah Kholil terdiam. Tangannya meraba tongkat kayu sederhana yang selalu menemani. Tongkat itu bergetar halus, lalu bicara:

“Aku bukan kayu mati. Aku pernah berjalan bersama Musa ketika laut terbelah. Aku pernah menopang seorang pengembara haus yang mencari Zamzam. Kini, wahai kekasih Allah, tugasku menanti seorang pewaris. Bukan untuk kemuliaan pribadi, tapi untuk jamaah yang akan berdiri.”

Air mata menetes dari mata Mbah Kholil. Ia tahu, tongkat ini bukan sembarang kayu. Ia adalah amanat.

🌙
Kayu sederhana, rahasia agung,
yang terlihat mati,
namun sejatinya hidup dalam nur Ilahi.
🌙

Namun, Mbah Kholil tidak langsung menyerahkan tongkat itu. Beliau tahu, amanat besar tidak boleh diberikan tanpa perantara yang tepat. Dalam doa malamnya ia bermunajat:

“Ya Allah, jangan biarkan aku salah menyerahkan. Tunjukkan siapa yang layak membawa tongkat ini ke pewaris sejati.”

Jawaban datang dalam isyarat: “Titipkanlah pada anak Situbondo. Ia akan menjadi jembatan.”

Maka pada suatu hari, Mbah Kholil memanggil seorang kiai muda dari Situbondo: KH. As’ad Syamsul Arifin, putra KH. Syamsul Arifin dari Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.

Dengan tatapan penuh rahasia, Mbah Kholil menyerahkan tongkat itu.

“Wahai As’ad, bawalah ini. Jangan tanyakan banyak hal. Kau hanya perantara. Tapi ketahuilah, tongkat ini adalah doa yang membatu, amanat yang berwujud. Bawalah ke Tebuireng, temui Hasyim. Katakan padanya, waktunya sudah tiba.”

KH. As’ad menerima tongkat itu dengan penuh takzim. Ia tidak banyak bicara. Hanya hatinya bergetar, seakan ikut menyadari beratnya amanat.

🌌
Ada yang dititipkan,
ada yang harus diteruskan,
perantara hanyalah jembatan,
yang sejati adalah amanat.
🌌

Perjalanan dari Situbondo menuju Jombang bukan sekadar lintasan tanah, tapi lintasan ruhani. Dalam setiap langkah, KH. As’ad merasakan tongkat itu berdesis lirih.

“Aku menunggu penerus sejati. Kau hanya jembatan. Tapi tanpa jembatan, tak ada pertemuan. Jangan takut, wahai anak Situbondo. Amanat ini bukan milikmu, tapi melalui tanganmu ia akan sampai.”

Dan benar, sampailah ia di Tebuireng.

Di sana, KH. As’ad bertemu KH. Hasyim Asy’ari. Pertemuan itu sederhana: dua ulama muda bersua, membawa satu rahasia besar.

As’ad menyerahkan tongkat itu. Dengan suara pelan ia berkata:

“Gus, tongkat ini dari Mbah Kholil. Beliau titip padaku, agar aku serahkan padamu. Beliau tidak memberi pesan panjang, hanya isyarat bahwa waktumu telah tiba.”

KH. Hasyim menerima tongkat itu dengan kedua tangan bergetar. Saat kayu berpindah, udara di ruangan berubah. Cahaya samar bergetar di dinding, seakan pintu gaib terbuka.

Hasyim menunduk, mencium tongkat itu. Ia tidak melihat kayu, tapi nur. Ia tidak mendengar suara As’ad, tapi bisikan para wali: “Bangunlah, satukan umat. Jamaah ini harus lahir.”

🌊
Laut luas tanpa dayung,
perahu tanpa layar,
tongkat kini menjadi arah,
mengarahkan umat ke dermaga.
🌊

Sejak itu, tongkat itu menjadi tanda. Dalam sepi malam, Hasyim mendengar desisan halus darinya:

“Aku bukan milikmu. Aku milik jamaah. Tugasmu bukan sekadar menggenggam, tapi menyatukan manusia di bawah cahaya.”

Hari-hari berjalan. KH. Hasyim memanggil para ulama, para santri, para pejuang iman. Mereka duduk dalam lingkaran, menyatukan niat. Dari situlah lahir jamaah: Nahdlatul Ulama.

Jamaah ini bukan sekadar organisasi. Ia adalah taman yang tumbuh dari doa para wali, disirami air mata perjuangan, dan dinaungi cahaya langit.

🌺
Taman tumbuh dari doa,
bunga berwarna-warni,
tapi disirami cahaya yang sama,
dan berakar pada iman.
🌺

Di Bangkalan, meski jasad Mbah Kholil telah berpulang, ruhnya tersenyum. Ia tahu amanat sudah sampai. Tongkat itu telah berpindah, bukan hanya kayu, tapi rahasia.

Di Situbondo, KH. As’ad bersujud syukur. Ia hanyalah jembatan, tapi betapa mulianya menjadi penghubung amanat langit.

Di Jombang, KH. Hasyim menegakkan langkahnya. Jamaah lahir, bagaikan taman cahaya yang menaungi umat, menumbuhkan kebersamaan, dan menjaga agama di tengah badai zaman.

Apakah tongkat itu masih ada?
Ataukah ia telah lenyap, menyatu dengan cahaya jamaah?
Tak seorang pun tahu.

Yang jelas, hingga kini umat masih merasakan bisikannya:
“Berpeganglah pada tali Allah. Jangan tercerai. Bersatulah dalam cahaya-Nya.”

Dan taman itu masih tumbuh, terus disirami doa-doa panjang malam, meski zaman berganti, meski ujian datang.

Momen bersam cucu mbah hasyim untuk belajar perjuangan mbah hasyim di sektor.pertanian

Dari Tambak yang Berpikir, Lahir Rasa yang Merdeka dari Amis

Agustus 11, 2025


Udang Vaname Probiotik – Dari Tambak NU untuk Meja Makan Anda

Di tepian sawah yang berpelukan dengan angin laut, tambak-tambak kecil di Kabupaten Pasuruan menyimpan rahasia besar: udang vaname yang tumbuh bukan dari laut lepas, tapi dari air tawar payau yang dijaga sepenuh hati. Di sinilah LPPNU Kabupaten Pasuruan hadir, bukan sekadar sebagai pendamping, tapi sebagai penuntun arah mengajarkan para petambak cara memelihara kehidupan dengan bijak.

Kuncinya adalah probiotik.
Bukan sekadar ramuan tambahan, probiotik adalah sahabat tak kasat mata yang menjaga air tetap bersih, menumbuhkan pakan alami, dan membuat udang hidup tanpa beban racun. Hasilnya? Udang sehat, daging manis, tidak berbau amis, dan ini yang jarang dimiliki udang lain aman bagi mereka yang biasanya alergi seafood.

Ini bukan udang biasa.
Ini adalah udang yang lahir dari kesabaran, pengetahuan, dan iman. Udang yang setiap geraknya di air adalah cerita tentang tanah yang diberkahi, petani yang berjuang, dan ilmu yang dipandu oleh NU untuk kemaslahatan umat.

Ketika Anda menyantapnya, Anda tidak hanya menikmati rasa; Anda ikut menjadi bagian dari gerakan besar: mengangkat derajat petani tambak lokal, menjaga lingkungan, dan membangun kemandirian pangan yang sehat.

Udang Vaname Probiotik – sehat di tubuh, berkah di hati.
Binaan LPPNU Kabupaten Pasuruan, dari tambak ke piring Anda, tanpa perantara rasa takut—hanya kebanggaan dan kenikmatan murni.


"Udang yang Tidak Amis"

Di sebuah sudut pesisir Kabupaten Pasuruan, matahari belum tinggi, namun bau asin laut sudah bercampur dengan semerbak lumpur yang memeluk perairan tambak. Ombak laut tak terdengar di sini. Airnya tenang, dipelihara bukan oleh gelombang, melainkan oleh tangan-tangan yang penuh kesabaran. Inilah rumah bagi udang vaname makhluk kecil yang tubuhnya putih mengilap, lincah berenang, dan kini menjadi harapan baru bagi para petambak yang percaya bahwa bumi dan air bisa diajak berdialog.

Bukan cerita tentang udang laut, bukan pula kisah pengejaran rezeki yang membabi buta. Ini adalah perjalanan budidaya yang lahir dari pengetahuan, doa, dan kehati-hatian. LPPNU Kabupaten Pasuruan hadir seperti seorang guru yang berjalan pelan di pematang, membawa ilmu yang diwariskan dari para pendahulu namun dibalut teknologi zaman ini. Mereka tidak hanya mengajarkan cara menebar benur, tapi juga cara membaca bahasa air, merasakan napas tanah, dan menjaga keseimbangan kehidupan yang rapuh namun subur di tambak.

Di sinilah Probiotik menjadi tokoh yang tak kalah penting. Seolah tetesan kecil yang berbisik kepada air: “Jangan menjadi tempat busuk, jadilah rumah yang sehat.” Probiotik ini bukan racun, bukan bahan kimia yang memaksa, melainkan kumpulan mikroorganisme baik yang bekerja seperti para pelayan setia mengurai kotoran, menyehatkan air, dan memberi makan udang dengan cara yang tak terlihat oleh mata.

Hasilnya bukan hanya udang yang tumbuh besar dan gemuk, tapi udang yang punya sifat yang jarang ditemukan di pasaran: tidak amis, tidak meninggalkan bau menyengat di tangan, dan tidak menimbulkan alergi bagi yang menikmatinya. Seolah probiotik telah memolesnya dari dalam, menjadikan dagingnya manis dan bersih, seperti daging ikan yang lahir dari mata air jernih.

Di tangan para petambak, probiotik adalah sahabat. Mereka tidak lagi khawatir tentang penyakit yang biasanya meruntuhkan panen dalam semalam. Tidak ada lagi air yang keruh dan berbau tajam. Udang berenang di kolam seperti perak hidup yang memantulkan cahaya matahari pagi.

LPPNU Kabupaten Pasuruan memandu proses ini seperti seorang pendeta memandu doa tenang, teliti, penuh keyakinan. Mereka menekankan bahwa merawat tambak bukan hanya soal memberi pakan dan menjaga air, tapi tentang membangun ekosistem yang seimbang. Sebuah tambak yang baik bukanlah pabrik, melainkan taman kehidupan di mana setiap makhluk, dari udang sampai plankton, punya peran dan saling memberi manfaat.

Cerita udang vaname di sini bukan sekadar laporan produksi. Ini adalah kisah hubungan antara manusia, air, tanah, dan waktu. Setiap pagi, para petambak berjalan di pematang, menatap permukaan air yang berkilau. Mereka tahu di bawahnya, ribuan udang bergerak, mencari makan, tumbuh, dan mempersiapkan diri untuk menjadi rezeki yang halal dan sehat.

Di pasar, orang mulai mengenal udang ini. Para ibu rumah tangga tersenyum ketika tahu udang yang mereka beli tidak meninggalkan bau amis di dapur. Anak-anak memakannya tanpa gatal, tanpa takut alergi. Para koki merasa dagingnya lebih mudah diolah, menyerap bumbu dengan sempurna. Semua itu bukan kebetulan, tapi buah dari perlakuan yang bijak perpaduan ilmu dan rasa hormat pada alam.

Ada satu hal yang membuat kisah ini istimewa: di balik keberhasilan panen, ada semangat kolektif. LPPNU tidak bekerja sendirian. Mereka menjadi jembatan yang menghubungkan petambak dengan pengetahuan modern, pasar yang lebih luas, dan cara budidaya yang lebih bersih. Di bawah bimbingan ini, tambak-tambak kecil mulai berubah menjadi pusat produksi yang tahan krisis, mengandalkan kualitas daripada sekadar kuantitas.

Probiotik, meski tidak pernah terlihat di foto-foto panen, adalah pemeran utama yang diam-diam membentuk masa depan. Seperti para penyair yang tak mencari panggung, ia bekerja di balik layar, memberi kesehatan pada air dan kekuatan pada udang. Tanpanya, udang hanyalah hewan yang dibesarkan; dengannya, udang menjadi simbol keberlanjutan dan kesehatan.

Dan di tengah semua ini, ada pelajaran yang lebih luas dari sekadar budidaya. Bahwa hidup, seperti tambak, perlu dirawat dengan kesabaran. Air yang keruh perlu dibersihkan, hati yang lelah perlu diberi asupan yang baik, dan setiap makhluk betapapun kecilnya membutuhkan lingkungan yang sehat untuk tumbuh.

Mungkin itu sebabnya udang ini terasa berbeda. Ia lahir dari air yang dijaga, dari tanah yang dihormati, dan dari manusia yang percaya bahwa rezeki terbaik adalah yang datang tanpa merusak. Di Kabupaten Pasuruan, udang vaname dari tambak ini bukan hanya makanan, tapi cerita. Cerita tentang bagaimana ilmu bertemu iman, dan bagaimana sebuah desa pesisir bisa mengirim pesan kepada dunia: bahwa yang sehat itu indah, dan yang indah itu layak diperjuangkan.

Jadi, ketika Anda suatu hari menemukan udang yang dagingnya manis, tidak amis, dan membuat Anda ingin kembali mencicipinya, mungkin itu datang dari sini dari sebuah tambak yang sunyi, dari tangan-tangan yang sabar, dari air yang selalu dijaga probiotik, dan dari bimbingan yang tidak hanya mengajarkan cara panen, tapi juga cara hidup.

Tanah yang Bicara, Padi yang Memanggil Masa Depan

Mei 24, 2025
Sumber Gambar: https://shorturl.at/ac761

“Tanah yang Bicara, Padi yang Memanggil Masa Depan”

Pagi itu, Dusun Seketi Kejayan diselimuti kabut tipis. Matahari belum sepenuhnya naik, namun kilau emas sudah menari di pucuk-pucuk Padi Sehat. Angin bergerak pelan, seolah tak ingin merusak doa yang sedang tumbuh di hamparan seluas lima ribu meter persegi itu.

Seorang petani tua, berjalan pelan di pematang. Ia menyentuh tanah dengan jemarinya yang pecah-pecah.
"Wahai tanah," bisiknya, "engkau telah memeluk akar-akar ini dengan kesabaran yang tak kenal musim. Engkau memberi hidup tanpa racun, hanya dengan cinta yang kembali menjadi rezeki."

Dan tanah menjawab lewat desiran angin,

"Aku memberi karena kalian setia. Aku membalas karena kalian menjaga. Selama kau memberi dengan hati, aku akan melahirkan dengan berkah."

Langkah sepatu menggesek tanah. Mas Bupati Rusdi Sutejo berdiri tegak di tepi sawah. Matanya menatap bulir-bulir yang menguning seperti menatap anak-anak yang siap dilepaskan ke dunia.
"Ini bukan sekadar panen," katanya dengan suara yang mengandung janji. "Ini adalah warisan. Kita patenkan. Kita lindungi. Jangan biarkan hasil dari peluh kita menjadi milik mereka yang tak menanamnya."

“Warisan bukan hanya nama, tapi hak untuk menentukan masa depan dari apa yang kita ciptakan.” 

Khofifah Indar Parawansa, berdiri di sampingnya, menunduk mengambil segenggam padi. Tangannya merasakan tekstur yang padat namun lembut, lalu ia berkata,
"Beras ini rendah kalori, bebas gluten, dan menyehatkan. Jika terbukti secara ilmiah, dunia akan datang ke Pasuruan untuk belajar, bukan sekadar membeli."

“Bangsa yang menanam kebaikan di tanahnya, akan menuai penghormatan di bumi yang jauh.”  

Samsul Ma’arif, Ketua LPPNU, menatap hamparan itu dengan mata yang mengandung keyakinan. "Kami akan menjaganya. Kami akan mengembangkan. Kami akan pastikan petani mendapatkan harga yang adil. Ini bukan sekadar beras  ini adalah identitas kita."

Tanah kembali berbisik,

"Aku adalah ibu yang setia. Tapi aku juga bisa menjadi batu yang bisu jika kau mengkhianatiku. Rawat aku, dan aku akan memberimu kehidupan yang tak habis-habis."

Panen itu menghasilkan 3.500 kilogram padi kering. Untuk saat ini, ia beredar di kalangan koperasi dan komunitas internal NU. Tapi semua yang hadir tahu, perjalanan ini baru dimulai. Padi Sehat akan melampaui batas dusun ini, seperti air yang mencari lautnya.

Sang Petani itu memandang jauh, melewati kabut pagi yang mulai terangkat.
"Kami menanam dengan cinta," ujarnya pelan, "dan cinta, bila dipelihara, akan beranak-pinak."

“Jangan hanya menatap masa depan sebagai mimpi; tataplah ia sebagai janji, lalu bergeraklah ke arahnya.” 

Pagi itu, setiap bulir padi seakan berdoa:
"Ya Tuhan, jadikan kami penguat tulang dan darah generasi yang akan datang. Jadikan kami bukan sekadar makanan, tapi rahmat bagi mereka yang memakan kami."

Dan angin pun membawa doa itu jauh, melintasi sawah, rumah, kota, bahkan negeri-negeri lain. Membawa kabar bahwa di Pasuruan, ada tanah yang berbicara, padi yang berdoa, dan manusia yang berani bermimpi lalu menjaganya.

“Ketika engkau menanam untuk dirimu sendiri, engkau menanam untuk satu musim.
Ketika engkau menanam untuk orang lain, engkau menanam untuk selamanya.”
  

LPPNU

Agustus 17, 2023

 


Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) merupakan salah satu badan otonom di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) yang membidangi pengembangan pertanian dalam arti luas yaitu, pertanian, perternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan, kelautan manajemen sumber daya alam, pengembangan peedesaan serta lingkungan hidup.


“Pendek Kata, Bapak Tani Adalah Goedang Kekajaan, Dan Dari Padanja Itoelah Negeri Mengeloearkan Belandja Bagi Sekalian Keperloean. Pa’ Tani Itoelah Penolong Negeri Apabila Keperloean Menghendakinja Dan Diwaktoe Orang Pentjari-Tjari Pertolongan. Pa’ Tani Itoe Ialah Pembantoe Negeri Jang Boleh Dipertjaja Oentoek Mengerdjakan Sekalian Keperloean Negeri, Jaitoe Diwaktunja Orang Berbalik Poenggoeng (Ta’ Soedi Menolong) Pada Negeri; Dan Pa’ Tani Itoe Djoega Mendjadi Sendi Tempat Negeri Didasarkan.”

(Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari)


Pengertian Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama

Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) merupakan salah satu badan otonom di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) yang membidangi pengembangan pertanian dalam arti luas yaitu, pertanian, perternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan, kelautan manajemen sumber daya alam, pengembangan peedesaan serta lingkungan hidup. Pada setiap jenjang kepengurusan NU dibentuk juga kepengurusan LPPNU. Pada tingkat pusat disebut pimpinan pusat yang berkedudukan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Jakarta, pada tingkat propinsi disebut Pimpinan Wilayah dan pada tingkat kabupaten/ kota disebut Pimpinan Cabang LPPNU.

NU merupakan organsasi sosial keagamaan yang berdiri sejak tahun 1926 silam. Dan, memiliki 60 juta pengikut serta memiliki kurang lebih 20.000 Pesantren yang sebagian besar tinggal di pedesaan. Hal ini merupakan sebuah potensi dan juga tantangan bagi NU sendiri.

Di mana sektor riil pedesaan (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, kelautan, energi dan kawasan konservasi) menjadi sumber penghidupan warga Nahdliyin yang sampai saat ini belum terkelola secara maksimal.

Hadirnya LPPNU sendiri merupakan bagian dari jamiyah Nahdlatul Ulama yang mana dalam keputusan muktamar dan pengarahan PBNU, LPPNU memiliki peran baik dalam pengembangan ekonomi.

Selain itu, LPPNU juga akan melakukan rekonstruksi program dan kegiatan, untuk lebih memperjelas ukuran-ukuran kinerja yang ingin dicapai dalam periode lima tahun ke depan, serta mempertajam prioritas-prioritas secara sesuai dengan tugas dan fungsi LPPNU.

LPPNU dapat mewacanakan terbentuknya badan pangan nasional. Menurut dia, badan pangan nasional yang independen dapat berguna untuk mengatur lalu lintas logistik nasional, distribusi, kontrol harga pangan dan bertanggung jawab proses logistik secara nasional.

LPP-PBNU akan mendorong Revolusi Tanah, bagaimana tanah itu menjadi subur, untuk hasil produksi yang lebih meningkat. Selanjutnya LPP-PBNU akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait lingkungan hidup,  banyaknya pabrik-pabrik yang menyebabkan limbah, kebakaran hutan dan lainnya,  maka perlu adanya sertifikasi lingkungan pada perusahaan yang berkaitan

Ke depan LPP-PBNU akan membangun pabrik-pabrik kecil untuk pupuk hayati yang dikonsentrasikan di seputar Pesantren agar bisa bermanfaat di lingkungan sekitar.

Ruang Lingkup Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU)

Ruang lingkup kerja LPPNU berdasarkan ART NU BAB V Pasal 18 ayat 6 item e, Komisi Program dan Komisi Rekomendasi Hasil Muktamar Makassar Tahun 2010 dan Hasil Merger Institusi GNKL (Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup)

  1. Pertanian – Mewujudkan kedaulatan pangan, pertanian untuk menopang eksistensi negeri.
  2. Kelautan dan Perikanan – Memberdayakan nelayan dan mengembangkan potensi laut untuk mewujudkan negeri bahari berdikari
  3. Kehutanan dan Lingkungan – Selamatkan hutan, seimbangkan ekosistem kehidupan, bangun hijaunya peradaban untuk generasi masa depan
  4. Pembangunan Pedesaan – Memperkuat kedaulatan desa untuk benteng agama, budaya, ekonomi dan lumbung kemakmuran bangsa

Cabang dan Wilayah Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama

“LPPNU berdedikasi untuk menegakkan kedaulatan Indonesia dan mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin yang memiliki berbagai macam fungsi yang diantaranya adalah LPPNU sebagai wahana aksi, sebagai wahana fasilitasi, sebagai wahana advokasi dan sebagai wahana kolaborasi.”

Temukan LPPNU di seluruh wilayah wilayah dan cabang yang sudah tersebar di Indonesia.

Fungsi Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama

LPPNU hadir untuk masyarakat Indonesia dengan fungsi dan peranan untuk membantu masyarakat.

  1. Wahana Aksi

LPPNU berfungsi sebagai lembaga pakar (think-tank institution) yang mendorong lahirnya gagasan-gagasan, strategis, inovatif dan lembaga gerakan sosial untuk melakukan pelayanan sosial dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian Nahdliyin.

  1. Wahana Advokasi

LPPNU berfungsi sebagai lembaga penggerak perubahan dan pemberdayaan yang bertindak membangun kemitraan, mengorganisir dan menggerakkan perubahan sosial, mempengaruhi kebijakan dan wacana publik, serta melakukan advokasi dan negosiasi dengan pihak terkait.

  1. Wahana Kolaborasi

LPPNU berfungsi sebagai simpul jejaring kerja yang bersama simpul-simpul lainnya menjalin kerjasama untuk memberdayakan dan mensinergikan sumber daya yang dimiliki masing-masing pihak dalam mencapai tujuan bersama.

Alamat Kantor LPPNU

Jalan Kramat Raya No. 164 RT. 7 / RW. 2, Kenari, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10430

Telepon : (021) 31923033

Sumber : https://shorturl.at/Dys5w

ads 728x90 B
Diberdayakan oleh Blogger.