“Tanah yang Bicara, Padi yang Memanggil Masa Depan”
Pagi itu, Dusun Seketi Kejayan diselimuti kabut tipis. Matahari belum sepenuhnya naik, namun kilau emas sudah menari di pucuk-pucuk Padi Sehat. Angin bergerak pelan, seolah tak ingin merusak doa yang sedang tumbuh di hamparan seluas lima ribu meter persegi itu.
Seorang petani tua, berjalan pelan di pematang. Ia menyentuh tanah dengan jemarinya yang pecah-pecah.
"Wahai tanah," bisiknya, "engkau telah memeluk akar-akar ini dengan kesabaran yang tak kenal musim. Engkau memberi hidup tanpa racun, hanya dengan cinta yang kembali menjadi rezeki."
Dan tanah menjawab lewat desiran angin,
"Aku memberi karena kalian setia. Aku membalas karena kalian menjaga. Selama kau memberi dengan hati, aku akan melahirkan dengan berkah."
Langkah sepatu menggesek tanah. Mas Bupati Rusdi Sutejo berdiri tegak di tepi sawah. Matanya menatap bulir-bulir yang menguning seperti menatap anak-anak yang siap dilepaskan ke dunia.
"Ini bukan sekadar panen," katanya dengan suara yang mengandung janji. "Ini adalah warisan. Kita patenkan. Kita lindungi. Jangan biarkan hasil dari peluh kita menjadi milik mereka yang tak menanamnya."
“Warisan bukan hanya nama, tapi hak untuk menentukan masa depan dari apa yang kita ciptakan.”
Khofifah Indar Parawansa, berdiri di sampingnya, menunduk mengambil segenggam padi. Tangannya merasakan tekstur yang padat namun lembut, lalu ia berkata,
"Beras ini rendah kalori, bebas gluten, dan menyehatkan. Jika terbukti secara ilmiah, dunia akan datang ke Pasuruan untuk belajar, bukan sekadar membeli."
“Bangsa yang menanam kebaikan di tanahnya, akan menuai penghormatan di bumi yang jauh.”
Samsul Ma’arif, Ketua LPPNU, menatap hamparan itu dengan mata yang mengandung keyakinan. "Kami akan menjaganya. Kami akan mengembangkan. Kami akan pastikan petani mendapatkan harga yang adil. Ini bukan sekadar beras ini adalah identitas kita."
Tanah kembali berbisik,
"Aku adalah ibu yang setia. Tapi aku juga bisa menjadi batu yang bisu jika kau mengkhianatiku. Rawat aku, dan aku akan memberimu kehidupan yang tak habis-habis."
Panen itu menghasilkan 3.500 kilogram padi kering. Untuk saat ini, ia beredar di kalangan koperasi dan komunitas internal NU. Tapi semua yang hadir tahu, perjalanan ini baru dimulai. Padi Sehat akan melampaui batas dusun ini, seperti air yang mencari lautnya.
Sang Petani itu memandang jauh, melewati kabut pagi yang mulai terangkat.
"Kami menanam dengan cinta," ujarnya pelan, "dan cinta, bila dipelihara, akan beranak-pinak."
“Jangan hanya menatap masa depan sebagai mimpi; tataplah ia sebagai janji, lalu bergeraklah ke arahnya.”
Pagi itu, setiap bulir padi seakan berdoa:
"Ya Tuhan, jadikan kami penguat tulang dan darah generasi yang akan datang. Jadikan kami bukan sekadar makanan, tapi rahmat bagi mereka yang memakan kami."
Dan angin pun membawa doa itu jauh, melintasi sawah, rumah, kota, bahkan negeri-negeri lain. Membawa kabar bahwa di Pasuruan, ada tanah yang berbicara, padi yang berdoa, dan manusia yang berani bermimpi lalu menjaganya.
“Ketika engkau menanam untuk dirimu sendiri, engkau menanam untuk satu musim.
Ketika engkau menanam untuk orang lain, engkau menanam untuk selamanya.”
Tidak ada komentar: